Kegunaan Mendasar Ilmu Sosial

Kegunaan Mendasar Ilmu Sosial – Berita ini sengaja dimulai dari sebuah pertanyaan tentang kegunaan mendasar ilmu sosial (termasuk juga ilmu-ilmu keagamaan). Kenapa? Ada dua alasan yang ingin dikemukakan di sini. Yang pertama, karena sudah kita amati bahwa kesalahan membangun abstraksi-abstraksi dan hukum-hukum dunia sosial telah membawa petaka bagi kehidupan sosial, yang di dalamnya relasi-relasi sosial kemanusiaan kita telah dihancurkan.

Yang mana ilmuwan sosial kita yang teramat percaya pada kapitalisme, baik sebagai basis ilmu maupun sebagai kebijakan, dan seluruh instrumen pembangunnya, seperti industri media, ‘pengetahuan sosial untuk pengetahuan sosial’ dan logika kesejahteraan yang sesat, telah menyebabkan hancurnya relasi-relasi sosial produktif masyarakat. https://www.queenaantwerp.com/

Pandangan perihal tersebut sebelumnya dikemukakan oleh konstruksionisme sosial bahwa latar belakang sebuah ‘pengetahuan sosial’ berfungsi membatasi dan membangun arti di dalam kehidupan sosial. Konstruksionisme sosial ini dapat dicermati terhadap bidang kesimpulan wacana dan psikologi sosial. https://www.queenaantwerp.com/

Kegunaan Mendasar Ilmu Sosial

Foucault, misalnya, penganut konstruksionisme sosial umum yang tunjukkan bahwa pengetahuan bukanlah hanya refleksi atas realitas, kebenaran merupakan konstruksi kewacanaan dan rezim pengetahuan yang berbeda menentukan apa yang benar dan yang salah.

Dalam terminologi Foucault (Marianne W Jurgensen dan Luise J Philips: 2009, 24), ada kedekatan antara pengetahuan dan kekuasaan. Baginya, di dalam kekuasaan dan pengetahuan itulah dunia sosial dihasilkan dan objek-objek dipisahkan satu mirip lain, dan dengan demikianlah menggapai karakteristik-karakteristik individu dan hubungan-hubungannya satu mirip lain.

Kedua, ilmu sosial meniscayakan sebuah metode yang digunakannnya dalam merumuskan dan memberi defenisi dalam hukum-hukum sosial tersebut. Metode atau langak membaca ilmu sosial itu sangat menentukan tesis tentang kehidupan sosial. Bagi Hegel (Marx: Kemiskinan Filsafat; 2004, 112), metode adalah kekuatan yang mutlak, tiada duanya (unik), tertinggi, tak terhingga yang tidak dapat dilawan oleh objek apapun juga; kecenderungan nalar untuk untuk mendapatkan dirinya kembali, mengenal dirinya sendiri dalam setiap objek. Metode ilmu sosial menentukan hasil dan abstraksi mengenai kehidupan sosial yang menjadi bidang penelitiannya. Adalah hal mendasar bahwa metode ilmu sosial menentukan abstraksi-abstraksi yang tepat.

Konteksnya di Indonesia :

Kedua asumsi di atas akan coba dikorelasikan dengan konteks ilmu sosial dan kehidupan sosial di Indonesia. Konteks pertama. Pada tulisannya, Menggugat Otoriterisme Di Asia Tenggara Perbandingan dan Pertautan antara Indonesia dan Malaysia, berkenaan kelas menengah di Indonesia dan Malaysia, Ariel Heryanto (2004) memberikan sejumlah pandangan dari teoritisi sosial berkenaan terminologi kelas menengah yang sukar dirumuskan. Salah satu pandangan yang dikemukakan Heryanto adalah pandangan yang berpikiran nihilnya kelas menengah di Indonesia. Nihilnya kelas menengah di Indonesia, menurut pandangan ini, disebabkan oleh kuatnya wacana anti komunisme akibat perang dingin dan terutama ‘empirisisme dosis tinggi’ di dalam ilmu sosial di Indonesia. ‘Wacana anti komunisme, yang begitu dominan di kawasan ini sepanjang perang dingin, telah turut bertanggung jawab atas miskinnya analisis kelas di dalam kajian Indonesia dan Malaysia dewasa ini. Situasi ini antara lain akibat dominasi empirisisme berdosis tinggi di dalam ilmu-ilmu sosial yang dikembangkan di Amerika Serikat sehabis perang dunia ke-II’, demikianlah tulisnya. Setidaknya tersedia dua inti pernyataan yang dikemukakan yang membawa dampak nihilnya kelas menengah di Indonesia di dalam catatan Heryanto di atas: ‘wacana anti komunisme yang demikianlah kuat’ dan ‘empirisisme berdosis tinggi di dalam ilmu sosial di Indonesia’.

Wacana anti komunisme memang dibangun dengan kuat oleh Negara, terutama di Indonesia, setelah penumpasan gerakan ini pada paruh kedua tahun 60-an. Ini kemudian dijadikan musuh bersama oleh 32 tahun rezim Soeharto yang menyebabkan, meminjam Hilmar Farid, ‘menghilangnya analisis kelas di Indonesia’. Sementara, asumsi mengenai ‘empirisisme dosis tinggi dalam ilmu sosial’ bermaksud menjelaskan apa? Dalam tulisan ini, Heryanto tidak memberikan penjelasan lebih lanjut.  Namun yang dapat ditangkap di sini bahwa Heryanto menanggapi gejala ilmu sosial di Indonesia yang makin positivis, bahwa empirisisme adalah ideologi ilmu pengetahuan yang berpusat pada positivisme. Hal ini seperti dikembangkan kelompok Wina mengenai ilmu sosial yang objektif, yang mengandaikan ilmu sosial sebagai ‘objektif’ dan berjarak dari kepentingan manusia. Ilmu pengetahuan, yang diklaim, untuk ilmu pengetahuan itu sendiri, tanpa tendensi dan tanpa ‘subjek’ di dalamnya. Ilmuwan sosial maupun politik Barat berasal dari kubu liberal sendiri sebenarnya, di dalam analisa Simon Philpot di dalam buku Meruntuhkan Indonesia Politik Postkolonial dan Otoritariansme (2007: 25), telah mengukuhkan klaim Heryanto berkenaan pengakuan ilmuwan berikut bahwa studinya di Asia Tenggara dan terkhusus di Indonesia adalah kategori-kategori analisis yang bersifat netral, objektif, accessible di dalam mengatakan masyarakat yang dikajinya’. Hal ini membuktikan ilmu sosial konteks Indonesia, baik yang dijalankan Barat maupun ilmuwan sosial Indonesia sendiri berlumur ideologi positivis. Pada penjelasan Fransisco Budi Hardiman di dalam Kritik Ideologi Pertautan Pengetahuan dan Kepentingan (1990; 29) berkenaan ilmu sosial yang diusung oleh grup positivis, merupakan negasi terhadap tendensi subjek di dalam kajian ilmu sosial tersebut. Terdapat artian, ilmu ilmu sosial ‘objektif yang dikembangkan oleh mashab Wina ini, merupakan ilmu sosial yang mengembangkan ilmu sosial sebagai ilmu itu sendiri dan abai terhadap realitas yang dikajinya. Konsepsi itulah yang ditolak oleh mashab Frankfurt yang mengembangkan teori kritik.

Ilmu sosial yang ‘objektif’ inilah yang menjadi ideologi basic pengembangan ilmu-ilmu sosial di Indonesia selama kekuasaan Orde Baru. Baru saat reformasi bermunculan studi-studi dan pendekatan ilmu sosial yang lebih parah dan emansipatif. Hal ini keluar didorong oleh lembaga-lembaga swadaya masyarakat, yang di dalamnya berkecimpung ilmuwan dan aktivis sosial yang acuhkan terhadap konteks sosial yang saat mereka hadapi. Dalam konteks ini beberapa LSM semacam INSIST, LBH, WALHI, JATAM, AMAN, Sayogyo Institute, SPP dan yang lainnya sudah mendorong diskursus gawat dalam ilmu sosial di Indonesia. Meskipun stimulan ini belumlah cukup kuat untuk menggoyang dominasi positivism dalam ilmu sosial Indonesia, tapi cukup memberi stimulan lahirnya pandangan gawat dan transformasi sosial di Indonesia.

Konteks kedua, perihal metodologi. Metodologi disini dilihat secara luas sebagai pendekatan-pendekatan dan carabaca ilmuwan sosial dan ilmu-ilmu sosial dalam mendekati persoalan yang diteliti. Metode ini bakal pilih abstraksi-abstraksi perihal dunia sosial. Bagaimana metode positifis pilih dan merumuskan sebuah asumsi sosial dan bagaimana mashab gawat merumuskan analisa terhadap sebuah konstruksi sosial.

Sikap positivis yang dianut oleh ilmu-ilmu sosial memiliki kandungan pengandaian yang saling berkaitan. Setidaknya menurut gambaran Fransisco B Hardiman (1990;24), pertama bahwa prosedur-prosedur metodologis dari ilmu-ilmu alam sanggup langsung diterapkan pada ilmu-ilmu sosial itu. Gejala-gejala subjektivitas manusia, keperluan maupun kemauan manusiawi, tidak mengganggu objek pengamatan, yaitu tingkah laku sosial manusia. Dengan cara ini object pengamatan disejajarkan dengan dunia alamiah. Kedua, hasil-hasil penelitian itu dapat dirumuskan dalam bentuk hukum-hukum seperti dalam bentuk ilmu alam. Ketiga, ilmu-ilmu sosial itu harus bersifat teknis, yaitu menyediakan pengetahuan yang bersifat instrumental murni. Pengetahuan itu harus dapat dipakai untuk keperluan apa saja sehingga tidak bersifat etis dan juga tidak terkait pada dimensi politis manusia. Ilmu-ilmu sosial, seperti ilmu-ilmu alam, bersifat netral, bebas dari nilai.

Metodologi pengetahuan sosial positivis di atas bisa dipahami sebagai kerangka basic pengetahuan yang abai terhadap realitas. Dan hasilnya bisa diamati dari model-model penelitian dan teori-teori yang dilahirkan darinya di Indonesia, yang selalu ‘tutup mata’ terhadap realitas yang tambah timpang dan eksploitatif. Ilmu pegetahuan yang cuma bergelut dengan dirinya sendiri, dengan problem metodologis dan teoritiknya sendiri tanpa menyimak konteks lazim dalam masyarakat. Inilah musabab kelahiran ilmuwan-ilmuwan tanpa basis sosial dan tanpa ikatan ideologis dan emansipatif terhadap masyarakat. Di kampus-kampus dan lembaga-lembaga penelitian udah berjejer ilmuwan sosial yang gagal mendiagnosa kekeliruan dalam relasi sosial masyarakat yang membuat ketimpangan struktur, pemiskinan dan hancurnya relasi-relasi produktif masyarakat. Hal ini berbeda dengan teori kritik secara diametral. Teori kritik secara lazim dipahami sebagai usaha mengaitkan rasio dan kehendak, riset dan nilai, pengetahuan dan kehidupan, teori dan praksis. Dengan singkat dikatakan teori ini hendak menyusun suatu ‘teori dengan maksud praksis’ (Ibid;54). Hal yang nista dalam pengetahuan sosial positivis.

Kegunaan Ilmu Sosial :

Dengan penjelasan singkat di atas, apa yang bisa dijadikan kerangka lazim merumuskan fungsi ilmu sosial? Atau seperti apa harusnya ilmu sosial mengambil standing position di tengah susunan sosial yang hancur akibat meluasnya moda mengolah kapitalisme ke semua ranah kehidupan ini? Kegunaan ilmu sosial mestilah sebuah fungsi praksis yang menggerakkan, mengadvokasi dan menyelamatkan manusia berasal dari tatanan sosial yang tidak adil!

Dalam Kemiskinan Filsafat (2004), Karl Marx dengan optimis membaca jaman depan ilmu sosial sebaiknya diarahkan. ‘Di ambang tiap tiap pengadukan lagi (reshuffling) masyarakat, kata akhir ilmu ilmu sosial akan tetap berbunyi: ‘Le combat ou la mort; la lute sanguinaire ou le neant. C’est ainsi que la question est invinciblenment posee. (perjuangan atau kematian; pertempuran berdarah atau kemusnahan. Demikian itulah masalahnya secara tanpa ampun dihadapi!), demikian ungkapknya. Sebuah argumen optimistis yang mengarahkan bahwa ilmu ilmu ke depan mestilah ilmu ilmu yang berpihak, emansipatif yang berdiri pas terhadap pihak yang tersisih oleh relasi sosial yang tidak untung mereka dan ikut masuk ke didalam pertarungan. Tidak bersembunyi di balik ‘tangan kotor’ ideologi objektif yang anti sosial.

Ungkapan Marx di atas menunjukkan logika dasar pemikiran Marx mengenai kelas. Bahwa sejarah umat manusia adalah sejarah perjuangan kelas (class struggle). Dan Marx menunjukkan seluruh pengabdiannya bagi pengembangan ilmu sosial yang berpihak, pada kelas yang paling tertindas dalam seluruh karya-karyanya. Nampaknya, bagi penulis, ilmu sosial semacam inilah yang dibutuhkan oleh tatanan ilmu sosial Indonesia yang guyub dalam puja-puji struktur yang sedang berkuasa, tanpa melihat jauh ke dalam dasar struktur sosial dan apa yang menyebabkannya hancur.