Tawaran Pada Seluruh Dosen Ilmu Sosial-Humaniora : Mengabdi Pada Masyarakat Dengan Start-Up

Tawaran Pada Seluruh Dosen Ilmu Sosial-Humaniora : Mengabdi Pada Masyarakat Dengan Start-Up – Sesuai dengan pasal 20 yang ada dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 mengenaif Sistem Pendidikan Nasional, perguruan tinggi berkewajiban menyelengarakan penelitian dan pengabdian masyarakat disamping melaksanakan kegiatan pendidikan. Pasal 45 yang dimuat dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi kemudian merinci yang dimaksud dengan penelitian ditujukan untuk mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan daya saing bangsa.  Sedangkan dalam pasal tersebut pengabdian masyarakat didefinisikan yaitu kegiatan sivitas akademika didalam mengamalkan dan membudayakan ilmu ilmu dan teknologi untuk memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa.

Sebagai keanggotaan perguruan tinggi, pastinya seluruh dosen terhitung berkewajiban supaya melakukan penelitian dan pengabdian kepada masyarakat, tak terkecuali dosen-dosen dari klaster keilmuan sosial-humaniora. Sedikit berbeda dengan kolega mereka dari klaster keilmuan sains dan teknologi, agro, dan juga medika, dosen-dosen dari klaster keilmuan sosial-humaniora hadapi satu tantangan “khas” yaitu kesimpulan bahwa ilmu sosial-humaniora tidak berfaedah bagi masyarakat. poker asia

Tawaran Pada Seluruh Dosen Ilmu Sosial-Humaniora : Mengabdi Pada Masyarakat Dengan Start-Up

Ironis memang mengingat ilmu sosial-humaniora sendiri mengupas berkenaan masyarakat. Anggapan bahwa ilmu sosial-humaniora tak berfaedah untuk masyarakat terutama tak jarang terdengar berasal dari ucapan mahasiswa-mahasiswa yang belajar ilmu sosial-humaniora sendiri.

Penyebab Ilmu Sosial-Humaniora Dianggap Tidak Berguna

Tentu anggapan seperti itu tersedia sebabnya. Pendapat penulis sendiri terdapat dua penyebab besar timbulnya anggapan bahwa ilmu sosial-humaniora tidak berguna, yakni karena eksternal dan karena internal. Sebab eksternal yang pertama adalah masuknya kemampuan pasar international yang begitu kuat ke dalam perguruan-perguruan tinggi di Indonesia pasca penandatanganan GATS (General Agreement on Tariff in Services) yang diinisiasi WTO. Kekuatan pasar tersebut kemudian mendefinisikan mana yang “bermanfaat” dan “tidak bermanfaat”. Dan kita bersama tahu bahwa banyak hal yang bermanfaat bagi pasar adalah hal-hal yang bersifat fisik dan bisa diukur secara jelas dengan angka. Sesuatu yang “sulit” dihasilkan oleh ilmu sosial-humaniora.

Sebab eksternal ke-2 merupakan kekuasaan negara yang mencengkeram ilmu sosial-humaniora di Indonesia. Menurut Hadiz dan Dhakidae (2006), apa yang terjadi dengan pertumbuhan ilmu sosial di Indonesia dewasa ini tidak mampu dilepas berasal dari konteks kekuasaan negara terhadap masa Orde Baru (1966-1998). Pada masa itu keterkaitan antara ilmu sosial dan kekuasaan nampak benar-benar jelas. Rezim Orde Baru termasuk merekayasa sedemikian rupa pertumbuhan ilmu sosial di Indonesia agar cocok dengan keperluan kekuasaan (Dhakidae, 2003). Konsekuensi logis dari keterlibatan sistematis kekuasaan negara Orde Baru dalam rekayasa perkembangan ilmu sosial di Indonesia pada masa itu adalah terbentuknya orientasi pengajaran, pendidikan, dan kegiatan penelitian yang sangat developmentalis (Nugroho, 2006).

Pasca jatuhnya Orde Baru ternyata kekuasaan negara yang mencengkeram ilmu sosial-humaniora di Indonesia tersebut masih ada meskipun sudah tak sekuat ketika masa Orde Baru. Kekuasaan negara (sebagaimana kekuasaan pasar) kemudian mendefinisikan mana yang “bermanfaat” dan “tidak bermanfaat”. Dan kita sama-sama tahu bahwa hal-hal yang bermanfaat bagi negara adalah hal-hal yang bisa melanggengkan kekuasaan negara atau dengan kata lain jangan sampai kritis terhadap negara. Padahal wacana kritis adalah salah satu aspek utama dalam ilmu sosial.

Sedangkan berasal dari internal kalangan pengetahuan sosial-humaniora di Indonesia sendiri tersedia dua karena internal kenapa muncul analisis bahwa pengetahuan sosial-humaniora tidak bermafaat. Sebab internal pertama adalah positivisme (yang mencoba meniru ilmu-ilmu alam) yang diterapkan secara ekstrim di dalam pengetahuan sosial-humaniora di Indonesia sendiri. Akibat berasal dari postivisme ekstrim berikut adalah munculnya pembelahan antara teori dan praksis karena di dalam postivisme para pengkaji sosial mesti terpisah berasal dari hal-hal sosial yang dikajinya untuk hindari “subjektivitas” sehingga kajiannya dapat “objektif” dan “empiris”. Implikasi selanjutnya tentu saja perguruan tinggi dan para pengkaji sosial-humaniora (dosen dan mahasiswa) di dalamnya menjadi terpisah jauh berasal dari penduduk yang dikajinya sehingga muncul kesan eksklusif dan elitis.

Sebab internal kedua adalah orientalisme yang mempunyai asumsi-asumsi pengetahuan sosial berasal dari Barat ke Indonesia. Pemikiran ilmuwan sosial-humaniora di Dunia Ketiga, termasuk Indonesia, selamanya saja terbelenggu karena risau dianggap menyeleweng berasal dari prosedur-prosedur ilmiah khas Barat. Akibatnya, sekaligus efek yang kedua, bermacam macam kajian pengetahuan sosial menjadi tidak berfaedah saat diterapkan terhadap penduduk di negaranya sendiri. Kajian pengetahuan sosial-humaniora kerap menjadi asing dengan nilai-nilai lokal. Cara pandang yang ditawarkan kadang kala terkesan dipaksakan dan juga tidak dapat menyadari secara utuh suatu problem yang muncul.

Yang Bisa Dilakukan :

Lantas apa yang bisa dilakukan? Yang pertama saya menawarkan yaitu agar para pengkaji ilmu sosial-humaniora (dosen dan mahasiswa) memikirkan ulang bahwa ilmu sosial-humaniora adalah juga tentang “penemuan sosial”. Penemuan sosial dari penulis diartikan sebagai inovasi-inovasi yang bersifat non-fisik dan bermanfaat kepada masyarakat. John Maynard Keynes mungkin tidak membantu banyak orang yang kehilangan pekerjaan saat Depresi Besar melanda Amerika Serikat dan sebagain besar dunia pada tahun 1930-an secara langsung, tetapi penemuan sosialnya membantu mengeluarkan dunia dari kondisi itu.

Tawaran Pada Seluruh Dosen Ilmu Sosial-Humaniora : Mengabdi Pada Masyarakat Dengan Start-Up

Max Weber mungkin tidak pernah memberikan pelayanan publik kepada banyak orang, namun penemuan sosialnya tentang birokrasi yang sekarang membuat pelayanan publik dapat berjalan lebih teratur. Penemuan sosial YB Mangunwijaya (Romo Mangun) berkenaan pengorganisasian penduduk di pinggir Kali Code jugalah yang sebabkan kampung selanjutnya sukses bertahan dari pengusuran. Oleh gara-gara itu, para dosen ilmu sosial-humaniora di Indonesia kudu langsung melepaskan belenggu postivisme dan orientalisme supaya dapat menemukan penemuan sosial yang berfungsi dan dapat di terima oleh penduduk di Indonesia.

Lalu setelah sukses menemukan penemuan sosial para pengkaji ilmu sosial-humaniora kudu dapat gunakan pasar bukan dimanfaatkan pasar seperti sebelumnya. Salah satu caranya adalah sebabkan start-up dari penemuan sosial yang sudah sukses ditemukan. Start-up yang berasal dari penemuan sosial para dosen ilmu sosial-humaniora ini kudu tidak serupa dari start-up lain. Kalau start-up lain dikendalikan oleh teknologi, maka start-up dari penemuan sosial ini kudu mengendalikan teknologi untuk kebermanfaatan bagi masyarakat.

Visi, prinsip sosial, serta wacana kronis dari start-up hasil penemuan sosial para dosen ilmu sosial-humaniora terlampau perlu dan kudu senantiasa ada karena, meskipun kehadiran gerakan-gerakan sosial type baru berbasis start-up sukses sebabkan generasi muda khususnya mahasiswa tertarik untuk mengabdikan ilmu sosial-humanioranya di dalam bentuk aktivisme sosial, tapi timbulnya perihal selanjutnya juga sebabkan banyak di pada mereka yang jadi fokus untuk diliput tempat gara-gara inginkan dianggap sebagai founder gerakan ini atau gerakan itu dan jadi melupakan pengabdian mereka kepada masyarakat.

Pembangunan start-up hasil penemuan sosial para dosen ilmu sosial-humaniora ini juga jangan sampai mendikotomikan hal yang luarannya “abstrak” seperti diskusi dan kajian sebagai hal yang “tidak bermanfaat”. Selain itu  hal yang luarannya “konkrit” seperti pendirian start-up merupakan hal yang “bermanfaat” seperti yang dilakukan oleh kekuatan pasar. Karena kita semua tahu bahwa yang “konkrit” (mendirikan start-up) hanya bisa dilakukan jika ada yang “abstrak” (diskusi dan kajian yang menghasilkan gagasan/penemuan sosial). Kemudian bagaimana dengan kekuasaan negara dan start-up hasil penemuan sosial para pengkaji ilmu sosial-humaniora ini? Sesuai dengan yang saya sampaikan sebelumnya bahwa start-up para dosen ilmu sosial-humaniora ini harus berbeda dengan start-up yang lain. Bila start-up yang lain sifatnya cuma filantropis atau pemberdayaan maka start-up para dosen ilmu sosial-humaniora ini harus meningkatkan kesadaran kritis masyarakat tentang kondisi struktural yang membuat mereka kesusahan dan hak mereka sebagai warga negara yang seharusnya dipenuhi oleh negara. Benar bahwa menyalakan lilin (dalam konteks ini mendirikan start-up) lebih mulia dari mengutuk kegelapan (dalam konteks ini tidak berbuat apa-apa), tapi kita juga harus tahu kenapa di tempat kita belum juga dialiri listrik (dalam konteks ini tidak dipenuhinya hak warga negara oleh negara).