Ilmu Sosial dan Budaya Tak Penting?

Ilmu Sosial dan Budaya Tak Penting? – Sejak bangku SMA, penjurusan IPS kerap dianggap sebagai kelas dua. Kelas bahasa bahkan di bawahnya lagi. Hal itu tercermin dari sedikitnya pemilih jurusan IPS. Di sebagian sekolah, jumlah kelas IPS bahkan lebih sedikit dari kelas IPA. Selain daripada itu, tidak jarang predikat bodoh, anak bandel, urakan tersemat pada anak-anak jurusan IPS dan bahasa.

lmu Pengetahuan Sosial (IPS) merupakan salah satu mata pelajaran wajib dalam pendidikan di tingkat dasar maupun menengah di Indonesia. IPS di negara barat dan lainnya lebih dikenal dengan social studies, social education, social studies education, dan sebagainya. Wesley tunjukkan bahwa “the social studies are the social sciences simplified for pedagodical purpose”. Jadi IPS menurut Wesley lebih mengarah kepada penyederhanaan ilmu-ilmu sosial yang mempunyai tujuan pada kapabilitas pedagogik.

Ilmu Sosial dan Budaya Tak Penting?

Cara pandang itu ada akarnya, yang ditelaah oleh keliru satunya oleh Rognvaldur D. Ingthrosson, yang mengatakan mengapa ilmu sosial secara metodologi dianggap terbelakang jika dibandingkan ilmu eksakta.

Alasannya, menurut penelusuran Ingthrosson, ilmu alam menjadi acuan bagi ilmu sosial gara-gara metodologi ilmu alam dinilai lebih pasti. Pendeknya, ilmu alam dengan metodologi yang ketat dianggap lebih ilmiah, agar dipandang punya kedudukan lebih tinggi dibanding ilmu layaknya sosiologi atau antropologi. idn poker

Lalu, apa kabar dengan pengetahuan budaya atau pengetahuan humaniora yang terdiri dari seni, filsafat, sastra, sejarah? Rumpun ini lebih nahas lagi, dipandang tidak berguna. “Nanti berkenan kerja apa?” merupakan sebuah respons yang jamak jikalau seseorang menyatakan inginkan bertekun ke bidang-bidang tersebut. Lanjutannya: “Ingin bekerja (dengan penghasilan tinggi), ya dengan menjadi insinyur, dong!”

Tereotip Lama Sudah Tak Relevan

Tentu saja tak ada yang bisa menyangkal bahwa teknologi berperan amat besar dalam peradaban manusia sekarang ini. Namun, bukan bermakna ilmu sosial dan humaniora adalah ilmu yang tak berguna. Humaniora lebih-lebih bisa diolah dengan teknologi, dan menjadi suatu hal yang punya nilai di masa digital ini.

“Kami menghendaki menyatakan pada mahasiswa calon sarjana dan pascasarjana bahwa mempelajari ilmu humaniora dalam beragam bentuknya merupakan langkah luar biasa untuk menyiapkan diri menghadapi dunia di luar sana,” kata Profesor Bahasa & Sastra Romanik dan Sastra Komparatif, Diana Sorensen, kepada hadirin dalam forum diskusi publik bertajuk “Digital Humanities: Across the Spectrum” di Universitas Harvard, Amerika Serikat, layaknya ditulis situs Harvard.

Panelis lain dalam diskusi berikut menegaskan bahwa stereotip humanis, sebagai sosok yang terasing di sebuah pojok ruangan remang-remang, sudah tak relevan lagi. Dengan proyek humaniora digital, para humanis bisa terlibat dalam masa digital.

Dengan humaniora digital, para humanis bisa dilatih penerapan teknologi informasi untuk literasi digital. Contoh sederhana: pengarsipan. Orang di bidang teknologi informasi memang yang memahami piranti untuk mengarsipkan. Namun, siapa yang paling memahami konten untuk tujuan literasi? Tak tersedia yang lebih menegaskan ketimbang mereka yang terlatih membaca naskah sastra, dokumen sejarah, teks filsafat, dan juga menekuni seni.

Belajar dari Steve Jobs

Bagaimana bisa saja seni diakui tak berguna? Menjawab soal ini, Steve Jobs bisa dijadikan cermin. Profesor program studi wanita, gender, dan studi sexual dari Universitas Yale, Inderpal Grewal, dalam tulisan di Huffington Post memperlihatkan bagaimana Steve Jobs benar-benar terpengaruhi kelas kaligrafi yang dulu diikutinya dalam mendesain Mac.

Menurut Grewal, orang-orang berpandangan bahwa seni dan humaniora tidak berfungsi untuk membawa dampak sebuah inovasi teknologi. “Mereka tidak dulu menduga bahwa Seni dan Humaniora bisa menjadi pusat produktivitas dalam ranah ekonomi, apalagi beri tambahan sebuah kekuatan untuk memimpin perekonomian global,” tambahnya.

Ilmu Sosial dan Budaya Tak Penting?

Televisi, film, musik, dunia seni, museum, fashion, dan konten internet, diciptakan oleh para penulis, musisi, seniman, dan desainer. Mereka melakukan itu semua dengan mengolaborasikan teknologi bersama inovasi ilmiah. Seluruh hal itu merupakan “industri budaya” yang besar pengaruhnya bagi AS sebagai kekuatan ekonomi dunia.

Lebih lanjut, Grewal memperlihatkan produk Jobs adalah bukti bahwa humaniora dan sains-teknologi saling terkait. “Dua hal tersebut [humaniora dan teknologi] merupakan bagian dari satu dunia,” katanya.

Pendidikan Humaniora Itu Penting

Di luar pentingnya literasi digital yang harus melibatkan para humanis, para ilmuwan (ilmu alam) dan insinyur jug memerlukan humaniora. Peraih gelar doktor bidang humaniora dari Universitas Texas, Troy Camplin, menjelaskan bahwa saat membaca karya fiksi, kita merasa berempati dengan karakter.

Ia terhitung berpendapat bahwa karya sastra adalah wujud dari versi paling halus dan kompleks dari langkah berpikir alami seseorang. Apabila seseorang idamkan mempertajam pemikirannya, ia harus banyak membaca karya sastra. Sastra, seperti halnya seni lain, terhitung mendukung seseorang merangsang kreativitas. Dalam sastra, terdapat perlintasan kreatif yang mendukung orang untuk lihat pola dan koneksi di bidang lain. Kreativitas cenderung terjadi dikala tidak salah satu langkah pikir membuka bersama langkah pikir lain.

Dari Singapura, profesor hukum internasional sekaligus diplomat senior Singapura Tommy Koh menunjukkan apa yang mesti diperhatikan di negaranya yang sedang menghadapi tantangan revolusi industri keempat yang dimulai pada pergantian abad ke-21. Era ini sudah melahirkan perusahaan yang mengubah status quo, dicantaranya Airbnb, Grab, dan Alibaba.

Dalam tulisannya di salah satu media berita, Koh mengatakan bahwa dunia sedang diubah oleh robot, artificial intelligence, Internet of Things, big data, kota cerdas, block chain, sharing economy, financial technology, dan seterusnya.

Oleh karena itu menurut Tommy, Singapura harus mempersiapkan pemuda dengan pengetahuan, keterampilan, dan pola pikir untuk memanfaatkan peluang baru. “Perihal itulah yang mendasari pemerintah menekankan soal pembangunan STEM (Science, Technology, Engineering, dan Mathematics),” kata Tommy Koh.

Seperti Inderpal Grewal, Koh juga menjadikan Steve Jobs sebagai contoh. Pendapat Koh, Jobs sukses memanfaatkan ilmu kaligrafinya untuk mendesain keyboard komputer Macintosh. Itulah yang membedakan Jobs dari para pesaingnya.

Tommy Koh juga mengutip pernyataan Jobs saat merilis iPad edisi terbarunya: “Kami di Apple paham bahwa teknologi saja tak cukup–teknologi yang dikawinkan dengan liberal arts, dikawinkan dengan humaniora-lah, yang hasilnya akan membahagiakan hati kita.”

Berdasarkan pengalamannya sebagai diplomat, Koh menunjukkan bahwa belajar sastra dan sejarah adalah hal yang penting. Menurut Koh, menghindari belajar sejarah akan menjerumuskan kita ke dalam masalah dan sebaliknya, mempelajari sejarah akan memberdayakan siapa pun yang mempelajarinya. Memahami sejarah sebuah negara mempermudah ia memahami dan berinteraksi dengan negara tersebut.

Soal sastra, Koh menganggapnya membantu seseorang untuk berpikir, menulis, dan berbicara dengan jelas. Untuknya, revolusi industri keempat tak menjadikan studi tentang humaniora tidak relevan. “Kita semua diwajibkan belajar tentang humaniora dikarenakan hal tersebut akan menolong kita berpikir secara analitis, menulis secara jelas dan berbicara dengan persuasif,” catatnya. Oleh karena itu, menurutnya Singapura perlu mengupayakan pendidikan holistik. “Hal mana yang diperlukan dunia yakni supaya edukatif generasi muda kita baik dalam pengetahuan pengetahuan dan kemanusiaan. Kita memerlukan pakar teknologi yang menyadari humaniora dan humanis yang menyadari teknologi,” tulis Koh.